
Bukan rahasia umum bahwa Turki dan Iran adalah negara muslim dengan aliran yang berbeda dengan islam di Indonesia. Dimana, Islam di Indonesia dengan mazhab syafi’i, Islam di Turki dengan Mazhab Hanafi dan aliran sekuler dan Islam di Iran dengan aliran syiah. Lalu bagaimana cara Muhammadiyah bisa berdakwah di kedua negara asing ini?
Alhamdulilah, Pada (29/02) 2024 Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah (PCIM) Turki dan Iran melakukan diskusi membahas “Geliat Dakwah Muhammadiyah Sekuler Turki dan Masyarakat Syiah Iran”, tema ini diangkat bukan hanya sekedar tulisan belaka. melainkan ada keinginan mendalam dari teman-teman PCIM untuk melihat peran PCIM dalam internasionalisasi Muhammadiyah di kedua negara ini. Hal ini dilandasi dengan adanya perbedaan antara mazhab dan aliran islam yang banyak di gunakan di Indonesia yang merupakan tempat awal berdirinya Muhammadiyah dengan negara-negara lainnya.
Terutama PCIM Iran yang merupakan PCIM Kedua tertua di dunia tapi sempat mati suri. Hal ini tak berlarut hingga kehadiran Kakanda Syahrul Ramadhan, S.Sos., M.Ag. yang berhasil membangkitkan kembali PCIM Iran. Hal tersebut terjadi karena adanya pergantian pelajar yang sudah menyelesaikan studinya dan ketiadaanya kader Muhammadiyah yang berkuliah di Iran. Untuk mengatasi hal tersebut, PCIM Iran melakukan presentasi tentang Muhammadiyah kepada salah satu kampus di Iran dan mendapatkan jatah beasiswa antara PCIM Iran dengan salah satu kampus disana.
Di perjalanannya PCIM Iran mengalami pasang surut kaderisasi dari tahun 2007 hingga tahun 2023. Hingga pada tahun lalu Muhammadiyah Iran berhasil bangkit kembali. Ketika dalam perjalanan untuk bangkitnya pun muncul beberapa pertanyaan dari WNI di Iran dan warga lokal Iran seperti “ Mazhab Muhammadiyah itu apa?”, Tetapi menurut Kakanda Syahrul, orang Muhammadiyah itu yah penjembatan antara sunni dan syiah, jadi tidak sunni dan tidak syiah, ini varian unik.
Hal ini juga tercermin dari sikap WNI yang merupakan syiah yang menunjukkan ke kagetannya kepada orang Muhammadiyah yang menurut mereka berbeda dengan Muhammadiyah di Indonesia. Padahal tidak ada perbedaan antara Muhammadiyah di Indonesia dan dimanapun itu yang membedakannya adalah oknum yang terdapat didalamnya. Jadi Muhammadiyah itu tidak sunni dan tidak syiah. Hal ini juga selaras dengan tatacara pengambilan sikap dan program kerja yang akan dilaksanakan oleh PCIM Iran yang dirasa tidak perlu mengklarifikasi lagi perhilal mazhab orang Muhammadiyah.
Lalu bagaimana dengan Iran di mata media dan kenyataannya?, Karena yang beredar di media bahwa Iran adalah negara yang di embargo. Tetapi pada kenyataannya Iran adalah negara yang mengalami pembangunan berjalan terus, kendaraan dimana-mana dan kemajuannya terus berjalan. Tetapi, Kakanda Syahrul mengatakan pandangan Beliau terhadap Iran sebagai negara dengan kedokterannya.
Hal ini adalah poin plus yang dapat dijadikan tempat dakwah dan dapat meng indonesianisasi Iran suatu saat nanti. Dalam pemaparan Beliau pula, Beliau menyampaikan kader Muhammadiyah haruslah menanamkan prinsip “Kita harus yakin Muhammadiyah itu besar, nggak ada yang ngalahin kita. Kita organisasi besar”, bukan untuk sombong tapi “famma bini’ mati faadist”.
Dari Pimpinan Cabang Istimewa Turki di wakili oleh kakanda Ahmad Dhiyaul Haq, Lc., M.Sos. yang membahas dakwah Muhammadiyah di Muslim Sekuler. Sekuler sendiri adalah memisahkan antara 2 unsur yaitu, agama dan urusan negara. Lalu perihal islam di Turki sendiri sesuai dengan pasal 1 UUD Turki yang secara tertulis disebutkan bahwa Turki adalah negara sekuler. Bahkan ada UUD sekularisasi pendidikan dan menghapuskan kementerian wakaf di Turki, sempat melarang masjid kecuali satu masjid. Masjid Abu Ayyub al-Anshari. Tujuan dari sekularisasi ini adalah menguatkan kembali kekuasaan, membina bangsa dan mensekulerkan negara dan masyarakat Turki, dll.
Dalam revolusi agamanya Turki, melarang adanya atribut keagamaan di ruang publik, sekolah, dll yang dapat mengancam ideologi sekularisme. Serta menerapkan monogami, melarang poligami, dan memberikan hak dalam kesetaraan gender, yang menyebabkan hukum waris dihapuskan serta memberikan kebebasan perkawinan antar agama. Selain itu, Turki mendukung emansipasi wanita. Hal ini ditandai dengan kutipan ucapan Mustafa Kemal Ataturk “Wanita kita wajib lebih tercerahkan, produkti dan lebih berpengetahuan daripada pria” dan terakhir Turki melarang penggunaan gelar dan mengharuskan menggunakan nama keluarga.
Lalu, bagaimana respon Muhammadiyah dalam menghadapinya?
Beliau membagi dan mengelompokkan dakwah Muhammadiyah kedalam 4 golongan. Pertama, Dakwah bil Lisan, yang artinya berdakwah secara lisan melalui ceramah, khutbah, diskusi, seminar dan nasihat. Kedua, Dakwah bil Hal, yang artinya pengelolaan zakat, infaq, shadaqah. Ketiga, dakwah bil Tadwin, disini kepenulisan seperti majalah suara Muhammadiyah. Keempat, dakwah bil Hikmah, yang menggunakan surat keorganisasian.
Hal ini terbukti dengan telah berdirinya Lembaga Amil Zakat, Infaq, Shadaqah (LAZIS) Muhammadiyah Turki, Lembaga Resiliensi Bencana (LRB) Turki, dan LPMI yang menyokong dakwah bil Hal PCIM Turki. Melakukan dakwah bil Lisani dengan warga Lokal. Serta melakukan dakwah bil Tadwin dengan menerjemahkan buku Muhammadiyah, majalah PCIM Turki dan tulisan lainnya.
Dari kedua PCIM di dua negara ini, dapat kita lihat ada satu garis lurus dalam mendakwahkan Muhammadiyah di luar negeri. Yaitu berdinamika dengan masyarakat lokal dan tetap memiliki semangat internasionalisasi Muhammadiyah. Besar harapan dari kedua PCIM ini, kegiatan seperti yang dilaksanakan ini dapat membuka pikiran keluarga Muhammadiyah di Indonesia untuk dapat melihat bahwa warga Muhammadiyah dimanapun itu bertujuan untuk memperkenalkan Muhammadiyah kepada dunia dan besar keinginan mereka untuk hal seperti ini di support dan didukung oleh seluruh warga Muhammadiyah dimanapun berada.
Penulis : Tri Julia Wulandari
Editor : Tri Julia Wulandari